Pages

Minggu, 21 November 2010

Asal Usul Qurban

Beberapa sumber menyebutkan, bahwa istilah qurban atau Idul Qurban yang diserap oleh bahasa Indonesia pada mulanya terpengaruh oleh dialektika orang Persia atau Afghanistan. Di sana Idul Adha populer dengan sebutan Eyde Ghorban atau Id Qorban. Hal ini dapat dimengerti, karena jalur penyebaran Islam di Indonesia memang banyak terpengaruh oleh dialektika Persia. Seperti istilah ibadat, sholat, zakat. Jarang dibunyikan dengan ibadah, sholah, zakah dan sebagainya seperti dialeknya orang Hijaz.
Istilah qurban sendiri sebenarnya telah lama dipakai oleh ummat Kristiani. Sementara literatur Islam lebih banyak pakai istilah udlhiyyah. Udlhiyyah adalah sembelihan pada hari raya Idul Adha dan ayyam at-tasyriq. Ummat terdahulu menggunakan istilah qurban untuk beberapa tujuan, pertama; sebagai ihda', persembahan atau yang populer dengan istilah sesajen atau semahan. Kedua; sebagai washilah, yaitu sarana/ alat untuk mendekatkan atau mempertemukan hajat tertentu kepada Tuhan. Dari sini lahir istilah korban persembahan, korban bakaran, korban curahan, korban sembelihan dan istilah sejenis lainnya dalam kitab suci ummat Kristiani. Ketiga; sebagai tebusan atau fidaa' yaitu membayar kesalahan alias denda, misalnya karena melanggar aturan atau norma tertentu.
Dalam kamus-kamus standar dikatakan, bahwa qurban secara bahasa memiliki banyak saluran, bisa melalui jalur sholat, jalur amal taat, sedekah dan sejenisnya. Intinya tidak melulu binatang. Pada masa-masa awal; qurban boleh dengan selain binatang. Qurban zaman dulu, bisa dengan benda apa saja yang paling dicintai atau punya nilai harga yang istimewa. Bisa dengan shadaqah atau 'athiyah (barang pemberian,persembahan) secara umum. Kendatipun demikian, praktek qurban dari zaman ke zaman sampai zaman Pra-Islam, selalu pakai binatang, demikian Tafsir Ibnu 'Abbas terhadap surah al-Hajj:37.
Namun qurban dengan hewan atau dengan 'athiyah secara umum dari awal disyari'atkannya tetap dengan jenis yang terbaik dan tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala atau tidak sah dilakukan oleh orang yang kafir/musyrik, seperti diisyaratkan dalam Al An'am:136, 138, meskipun pada kenyataannya praktek qurban dilakukan oleh semua agama.
Pergeseran Ritual. Dari zaman Nabi Ibrahim lama kelamaan, tradisi qurban dikaburkan oleh orang-orang Jahiliyah. Dari berqurban dengan binatang menjadi mengurbankan anak perempuan dengan cara dikubur hidup-hidup dan memandang baik penyimpangan praktek qurban seperti ini. Dari menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelih, menjadi menyebut nama berhala dan patung-patung. Dari tujuan menuju Tauhid beralih pada tujuan tawassul kepada berhala. Dari takbir ketika menyembelih menjadi mengelilingi binatang qurban. Al Qur'an menyebut pengaburan praktek qurban ini dengan istilah iftira'an (Al An'am:138, 140). Saat itu daging hewan Qurban hanya boleh dinikmati oleh orang-orang berkelas. Biasanya mereka lakukan pada bulan Rajab, bukan Zulhijjah, doeloe namanya Fara' dan 'Athirah yang kemudian dihapus oleh Islam. Termasuk orang yang berkelas ini adalah patung-patung dan berhala yang digantung di Kiswah Ka'bah. Darah hewan qurban mereka siramkan ke sekeliling Ka'bah sambil berthawaf dalam keadaan telanjang (Tafsir Al Hajj:36-37).
Dari perkembangan istilah qurban ini dapat disimpulkan, bahwa qurban ummat Islam piur tauhid, seperti tercermin dalam doa sembelihan bismillaahi Allaahu Akbar. Sedang qurban ummat tempo dulu piur dewa, sarat dengan bau pagan, kental dengan mistik dan ritual syirik. Inilah perbedaan esensil qurban dalam Islam dengan qurban agama lain yang
Allah Ta’ala firmankan dalam ayat Fashalli lirabbika wanhar. 'Adi bin Tsabit mengatakan, ciri khas qurban ummat ini karena dikaitkan langsung dengan ibadah, tidak hanya peringatan atau sekedar perayaan tahunan. Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab memasukkan qurban sebagai bentuk ibadah yang tidak sah selain untuk Allah Ta’ala (sumber:Tafsir Al Muharrarul Wajiz, 2:274 dan Majmu'ah Rasa'il Fit Tauhid wal Iman, hal.379)
Yang Bukan Udlhiyyah. Tidak bisa disebut udlhiyyah; hewan sembelihan yang biasa perjual-belikan di pasar atau di supermarket, yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Tidak termasuk udlhiyyah binatang sembelihan untuk hajat tertentu, meskipun niatnya ikhlas atau sengaja diniatkan untuk qurban. Karena udlhiyyah berkaitan dengan syarat dan rukun tertentu, seperti syarat kemampuan, umur dan jenis binatang, syarat agama bagi mudhahhi dan mustahiq, do'a, syarat waktu /tempat dan seterusnya.
Niat udlhiyyah tidak boleh ganda; misalnya selain diniatkan untuk qurban juga diniatkan untuk 'aqiqah, selain diniatkan untuk diri sendiri juga diniatkan untuk orang tua, selain diniatkan untuk yang masih hidup juga untuk yang sudah mati. Ini tidak boleh, karena masing-masing amal punya niatnya sendiri-sendiri (Wazarat Al Auqaf was-Syu'un Al-Islamiyah, Al Mausu'ah Al Fiqhiyah. Kuwait: 1404/1983, Juz 5:74)
Tidak termasuk udlhiyyah, menyembelih binatang lalu membagi-bagikannya pada korban bencana alam, meskipun diniatkan untuk ibadah. Ini karena binatang itu disembelih di luar waktu yang disyariatkan. Tidak juga termasuk qurban mengganti binatang qurban dengan uang, seperti mengganti hadyu/dam haji tamattu' dan haji qiran dengan uang. Sebab inti qurban adalah ihraaqu ad-daam, menumpahkan darah makanya disebut udlhiyyah; menyembelih. Mengganti qurban dengan uang akan menghilangkan syiar qurban dan menghapuskan jejak sejarah para Nabi, meniadakan syiar takbir ketika menyembelih, syiar mudhahhi-mustahiq, sunnahnya makan daging qurban, dan seterusnya. Jangankan menggantinya dengan uang, menyembelihnya saja di luar waktu bukan termasuk udlhiyyah.
Tidak termasuk udlhiyyah berqurban dengan jenis binatang yang tidak dicontohkan, seperti dengan hewan lain di luar yang ditetapkan syariat seperti kuda, kerbau atau ayam sesuai petunjuk Al Qur'an, Al Hajj:28,34. Para Sahabat tidak pernah mempraktekannya dan tidak ada nukilan keterangan yang membolehkannya. Jika ada keterangan, niscaya keterangan itu tidak punya sandaran riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan.
Masa'il Qurban. Qurban adalah ibadat tahunan. Sifatnya selalu berulang, sehingga menjadi moment penting yang nilai keutamaan, fungsi dan kedudukannya; teramat sayang bila dilewatkan. Karena selalu berulang, qurban harus dipersiapkan sejak awal, seperti halnya aspek pendanaan haji, nikah, 'aqiqah, dan hajatan syar'i lainnya melalui sistem menabung atau mencicil. Pengurus Masjid, Musholla dan Majelis Ta'lim adalah pihak yang paling berhajat dengan sistem ini untuk meningkatkan perolehan mudhahhi dari tahun ke tahun. Jangan jadi mustahiq terus, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Hubungan mustahiq-mudhahhi, sepertinya harus diupayakan dalam bentuk legalisasi ikatan, supaya tradisi pembagian zakat fithrah dan pendistribusian daging qurban tidak melulu bagai jatah tahunan fakir-miskin. Sehingga masjid baru ramai diserbu jama'ah, di kedua hari raya tersebut saja.
Sesuai dengan perkembangan zaman, qurban pun mengalami proses pergeseran atau persintuhan pemikiran. Ada sebagian pihak yang mencoba otak-atik; bagaimana jika qurban itu pakai uang saja, dagingnya dijual lalu hasil penjualannya baru disampaikan pada fakir-miskin. Dalam tataran pemikiran, pendapat seperti ini sah-sah saja. Namun dimensi ta'abbudi qurban, tidak mengijinkan pemikiran seperti tadi untuk dianut.
Pemikiran lain yang patut diupayakan ke depan adalah, qurban buat orang yang sudah meninggal, khususnya antara anak dengan orang tua atau sebaliknya, sebagai amal baktinya terhadap almarhum, meskipun sudah beda alam. Para ahlul Ilmi mensyaratkan bolehnya qurban atas mayit jika: (1). Dilakukan oleh anak terhadap orang tua, (2). Dananya diambilkan dari harta mayit, sebagian maupun seluruhnya, atau tidak sama sekali jika masih senasab (3). Tidak masalah ada atau tidak ada wasiat sebelumnya, (4). Pelakunya sudah pernah berqurban.(5) Tidak disembelih di tempat yang diharamkan, tempat najis atau mengundang pada kesyirikan. Demikian hasil penelitian Dr. Sa'îd bin 'Ali bin Qahf Al-Qahthâni dalam kitabnya, "Ahkâmul Janâ'iz." Syeik Qahthani mencatat bahwa ada sekitar 4 ayat Qur'an yang secara umum membolehkan dan menyatakan sampainya pahala amal antara orang yang hidup kepada orang mati, yaitu: surah al-Hasyr:10 (berbentuk do'a), surah Muhammad:19 (berbentuk istighfar), surah Nuh:28 (berbentuk do'a), surah Ibrahim:41-42 (berbentuk do'a). Sedang dalam hadits, ditemukan ada sekitar 23 hadits shahih yang membolehkan dan menyatakan sampainya pahala amal antara orang yang hidup kepada orang mati dengan beberapa persyaratan di atas.
Hal lain yang perlu diupayakan adalah anak yang ketika bayinya belum di'aqiqahkan oleh orang tuanya karena satu dan lain hal, kini dapat menggantinya dengan qurban, bukan dengan 'aqiqah lagi, sebab waktunya sudah lewat dari yang ditetapkan pada hari ke-7,14 dn 21 dari kelahiran bayi. Dalam fatwa para Ulama, tidak boleh 'aqiqah untuk diri sendiri.
Qurban patungan model anak sekolahan, dalam tahap tarbiyah boleh-boleh saja, namun tetap dijelaskan oleh guru-gurunya bahwa ini bukan qurban yang diinginkan syariat. Ini sedekah, sedang qurban lebih baik dari sedekah.
Ke depan, program pembinaan mustahiq dan mudhahhi oleh para pengurus masjid, musholla dan majelis ta'lim seoptimal mungkin hendaknya diupayakan dalam bentuk forum silaturrahim. Syariat qurban adalah potensi besar untuk melakukan penggalangan kekuatan dalam rangka mempercepat usaha ke arah pencerdasan ummat.

H. Syamsul Bahri
Majlis Fatwa Dewan da'wah.

0 komentar:

Posting Komentar